Semboyan Pertama Revolusi Agustus 1945 : Merdeka atau Mati !
Ada hantu berkeliaran di Hindia Belanda, tuan-tuan kolonialist Belanda, direktur-direktur perkebunan raksasa, administratur pabrik gula dan pertambangan, semua menjerit-jerit ketakutan. Surat kabar-surat kabar onderneming memuat hasutan untuk mengejar-ngejar hantu yang mengerikan itu, yang lain cepat-cepat mencari tukang pukul untuk menjaga keamanan. Kepanikan itu disebabkan oleh munculnya Sarekat Islam pada akhir tahun 1911 yang didirikan oleh R.M Tirtoadisuryo, dari sekedar organisasi yang melindungi nasib perusahaan dagang pribumi menjadi organisasi politik yang bersifat massal.
Dimulai dari perkumpulan intelektualis Budi Utomo 1908, kemudian muncul organisasi politik bersifat massal semacam SI. Praktis pasca Revolusi di Rusia 1918, kemunculan organisasi-organisasi dengan orientasi politik yang anti imperialisme tidak mampu di cegah, bahkan oleh pemerintahan kolonialis Hindia Belanda sekalipun. munculnya SI, Indesche Partij, PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda), ISDV dan beragam organisasi lainnya menandai lahirnya perjuangan yang lebih maju dengan orientasi kemerdekaan bagi Indonesia. Bahkan pada kongres ke VII ISDV di gedung SI Semarang 23 Mei 1920, ISDV mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik pertama di Indonesia dengan nama PKI.
Perlawanan Tak Kunjung Usai : Rakyat Indonesia yang tidak Pernah Sudi Untuk di Jajah Apapun Bentuknya.
Perlawanan-perlawanan rakyat juga kian meningkat, berbagai bentuk metode terus dilakukan. organisasi-organisasi massa rakyat tampil paling depan dalam memimpin dan mengorganisasikan perjuangan rakyat Indonesia. Pada bulan Januari tahun 1922 terjadi pemogokan terbesar pertama di Inonesia, pemogokan ini di pimpin oleh Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB). Saat itu pemerintah akan mengadakan pemecatan terhadap 20% pegawainya. Aksi dimulai dari Ngupasan, Jogjakarta, hanya dalam waktu 2 minggu pemogokan meluas ke 79 dari 360 rumah gadai di seluruh Jawa.
Pemogokan ini kemudian di susul oleh pemogokan buruh kereta api, yang salah satunya menuntut 8 jam kerja sehari dan tunjangan sosial yang harus di penuhi oleh perusahaan. Akan tetapi tidak digubris oleh perusahaan, hal ini kemudian direspon oleh VSTP dengan melakukan mogok yang diikuti oleh 13.000 dari total 20.000 buruh kereta api yang ada saat itu. VSTP memiliki 80 cabang dengan anggota mencapai 8.000 orang. Pasca aksi ini, pemerintah Kolonial mengeluarkan undang-undang artikel 161 bis yang kemudian terkenal dengan UU anti mogok.
Pasca itu perjuangan rakyat semakin meningkat, peranan organisasi massa menjadi penting sebagai alat yang mampu menyatukan rakyat atas kepentingannya, termasuk semangat menentukan nasib sendiri (the rights to self determination) untuk mencapai kedaulatan Indonesia (National Sovereignity) atau kemerdekaan Indonesia. Berbagai macam usaha melawan pemerintahan colonial terus dilakukan, termasuk pemberontakan bersenjata petani yang bersifat nasional pada bulan November tahun 1926. Pemberontakan ini merupakan bagian dari perlawanan rakyat yang begitu gigih akibat penindasan yang berat dari kolonialisme belanda. Dengan susah payah pemerintah Belanda baru bisa memadamkan pemberontakan ini pada bulan Desember 1926, pemberontakan ini kemudian mendorong penangkapan besar-besaran terhadap rakyat dan pimpinan organisasi-organisasi rakyat, yang kemudian disiksa, dibunuh ataupun dibuang dan diasingkan. Akan tetapi hal ini tidak pernah menyurutkan perlawanan rakyat Indonesia.
Apalagi pada periode tahun 1929 dunia mulai dilanda resesi besar yang kemudian terkenal dengan nama great depression sebagai akibat krisis yang melanda Imperialisme karena over produksi, terutama barang-barang otomotif dan persaingan yang ketat antara imperialisme di bawah AS, melawan blok fasis yang merupakan manifestasi kapitalisme monopoli yang brutal di bawah pimpinan jerman, jepang dan italia dalam memperebutkan dominasi mereka di Negara-negara jajahan, terutama di Asia dan Afrika.
Akan tetapi yang paling terpukul akibat krisis adalah rakyat Indonesia itu sendiri, pabrik-pabrik gula mengalami kebangkrutan, dari data yang dihimpun misalnya, pada tahun 1930 masih ada 179 pabrik yang beroperasi dengan luas tanah perkebunan untuk tebu sebesar 193.692 Ha, akan tetapi pada tahun 1934 hanya tinggal 54 pabrik yang sanggup beroperasi dengan luas perkebunan tinggal 33.402 Ha, dengan harga yang anjlok drastis. Kejatuhan harga produksi pertanian bukan hanya untuk gula saja, hal yang sama juga menimpa komoditas hasil pertanian dan perkebunan yang lainnya seperti kakao, kacang-kacangan, kopra, damar, jagung, merica, kopi, bahkan padi juga mengalami penurunan harga. Sementara dari rakyat perlawanan juga tidak pernah kunjung usai.
Pada periode tahun 30-an terjadi serangkaian bentrokan berdarah antara rakyat dengan pemerintah kolonial, seperti bentrok berdarah di pasuruan, perlawanan tukang gerobak di semarang, perlawanan kaum tani di banyumas, Aceh dan di sekitar Bengkalis (Sumatera Timur), bentrokan berdarah juga terjadi di wilayah Tapanuli Sumatera Utara, Kerawan dan Bekasi. Kemudian Pemberontakan yang menggemparkan dunia adalah pemberontakan awak kapal penjelajah milik belanda bernama De Zeven Provincien pada Februari 1933 yang melibatkan perwira, marininir dan awak kapal baik dari Belanda ataupun Indonesia, akibat pemotongan upah yang mencapai 7 %, yang kemudian pada tanggal 5 februari 1933 tenggelam akibat di bom oleh tentara kolonial. Sampai tahun 1965, rakyat Indonesia masih memperingati tenggelamnya kapal De Zeven Provincien sebagai bagian dari perjuangan heroik rakyat Indonesia.
Kesadaran Politik rakyat Indonesia sesungguhnya semakin kuat apalagi sejak munculnya organisasi-organisasi yang memimpin perjuangan mereka, dari sekedar aksi atau boikot untuk kepentingan sosial ekonominya sampai pada aksi serta perjuangan dalam bentuk yang lebih keras. Kesadaran untuk menjadi bangsa yang berdaulat terlihat pada munculnya organisasi-organisasi politik yang tumbuh, ataupun pada deklarasi sumpah pemuda 28 Oktober 1928, yang sanggup mencerminkan sifat patriotik dari pemuda-pemuda Indonesia.
Situasi dunia saat itu sendiri selain krisis yang menghebat, tumbuhnya kekuatan fasis di Eropa pada tahun 1933 yang dipimpin oleh Adolf Hitler dari Jerman telah menakutkan banyak pihak, Fasisme pada hakekatnya adalah wujud dari kapitalisme monopoli yang paling brutal, saat itu Negara-negara fasis adalah Negara industry baru yang muncul dan ingin merebut dominasi pasar yang saat itu dikuasai oleh sekutu terutama Inggris, Prancis dan AS, setelah mereka mengalami overproduksi di Negara nya yang begitu akut, sehingga jalan untuk mengeluarkan diri dari krisis yang akut adalah dengan melakukan ekspansi pasar ke wilayah lain.
Tahun 1935 dari Rusia diserukan agar di bentuk front anti fasis untuk menghadapi bahaya fasisme yang terus menguat, gerakan anti fasis terus berkembang di berbagai belahan dunia, di Indocina pada desember 1936 di bentuk front nasional anti Jepang. Di Indonesia sendiri embrio lahirnya gerakan bawah tanah anti fasisme yang kelak terkenal dengan nama GERAF (Gerakan Rakyat Anti Fasis) mulai tumbuh pada tahun 1936, termasuk dengan mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang diprakarsai oleh Amir Syarifudin, Wikana, Sartono, AK Gani dll.
Gerakan anti fasis ini kemudian mengajak seluruh organisasi massa dan partai politik yang ada untuk bersatu melawan bahaya fasisme yang di Asia Pasifik dipimpin oleh Jepang. Bahkan untuk mendukung gerakan anti fasis ini gerindo juga menggunakan penerbitan di bawah penyair Sanusi Pane untuk menerbitkan majalah Kebangunan dan menggandeng peranakan Tionghoa untuk bergabung bersama. Sebuah hal baru, karena sebelumnya PNI ataupun Parindra tidak mau menerima peranakan sebagai anggota penuh, peranakan terutama tionghoa hanya sebagai calon anggota.
Pada tahun 1939 didirikan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan manifestasi dari front anti fasis di Indonesia, GAPI adalah gabungan dari berbagai partai politik yang ada di Indonesia. Bahkan GAPI kemudian menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia pada akhir tahun 1939 yang dihadiri oleh tidak kurang dari 90 partai politik dan ormas yang ada di Indonesia. Peserta sendiri kemudian menerima dengan bulat program yang diajukan termasuk menyepakati Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, Bendera Merah putih sebagai bendera Negara dan lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.
Saat itu Eropa sudah hancur lebur di hajar Nazi, tidak terkecuali Belanda yang pemerintahannya sudah lari mengungsi ke London Inggris. Untuk menahan bahaya dari jepang, rakyat Indonesia minta untuk di persenjatai dan di bentuk milisi selain itu kebebasan berserikat dan berkumpul untuk di bebaskan dan penghapusan Digul sebagai tempat pembuangan, akan tetapi hal tersebut tidak diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Baru pada tahun 1941 ratu Wilhelmina dari pengungsiannya di London memberikan beberapa pilihan ke Indonesia, tetapi di tolak GAPI. Karena saat itu kekuasaan Belanda di Indonesia tinggal menghitung hari akibat agresi Jepang yang kian hebat. Jadi hakekatnya hanya ilusi jika kemerdekaan Indonesia akan diberikan oleh pihak kolonial Belanda, bahkan oleh Prof Wertehim, Guru besar Rechts Hoge Scool menyatakan bahwa hal tersebut adalah kebohongan besar pemerintah Kolonial dan Pada tahun 1941 Jepang pun masuk ke Indonesia. Perang melawan Fasisme adalah perang yang maha berat, termasuk di Indonesia, Soekarno pernah menulis untuk memblejeti fasis dan melawannya antara lain “Hormat pada para pahlawan angkatan udara Rusia dan Inggris, angkatan laut Rusia dan Inggris, para pahlawan dari semua medan pertempuran melawan Hitler…dan para Pahlawan bawah tanah yang mengatur perlawanan anti Fasisme”.
Rakyat Indonesia Berjuang Melawan Fasisme Jepang.
Pertama kali yang dilakukan Jepang pada awal kekuasaannya adalah melarang adannya segala macam organisasi. Jepang kemudian membentuk organisasi Tiga A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia) yang dipimpin oleh A. Samsudin seorang Nasionalis Modern dari PArindra yang sangat bersimpati dengan Jepang.
Selain itu Jepang juga membentuk organisasi semi-militer Seinendan dan Keibodan, kemudian Jepang juga membentuk PETA (Pembela Tanah Air) yang dibangun sebagai alat penjinak bagi kaum Fasis, sehingga daidanco (komandan batalyon) direkrut dari kalangan feudal yang telah teruji kesetiaannya.
Penderitaan rakyat begitu besar akibat penjajahan Jepang, bahkan disebutkan bahwa penderitaan rakyat jauh lebih berat di banding era kekuasaan kolonialis Belanda. Rakyat di tindas dan di mobilisasi untuk kepentingan perang kaum fasis Jepang, jutaan rakyat dipaksa untuk menjadi romusha, tanah-tanah pertanian dipaksa untuk ditanami jarak sebagai bahan bakar pesawat. sehingga tidak heran penghidupan rakyat menurun drastis, produksi makanan menurun, kematian akibat kelaparan setiap hari terjadi. Penderitaan ini tidak hanya dialami oleh petani, bahkan klas menengah dan sebagian klas atas pun mengalami hal yang sama. Dendam yang begitu besar terhadap kekuasaan Jepang membuat semua klas dalam masyarakat ikut ambil bagian dalam Revolusi Agustus 1945.
Jika kita menggali lagi makna proklamasi kemerdekaan RI atau dikenal juga sebagai babak Revolusi Agustus ’45, sesungguhnya mengandung tuntutan perubahan dari rakyat Indonesia untuk menghancurkan kolonialisme-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme di Indonesia. Artinya, hakekat dari Revolusi Agustus ’45 sesungguhnya adalah perjuangan demokratis nasional untuk mencapai Indonesia baru yang demokratis dan merdeka sepenuhnya, lepas dari belenggu imperialisme dan sisa-sisa feodalisme.
Sebelum pecah Revolusi Agustus ’45 kaum buruh dan kaum tani telah memberikan perlawanan sengit terhadap kaum kolonial fasis Jepang. Perlawanan luar biasa diberikan kaum tani, karena politik Jepang untuk memobilisasi kebutuhan pangan untuk perang dan kerja paksa Romusha telah membawa kerugian yang luar biasa terhadap kaum tani. Selama kekuasaan Jepang, sektor pertanian dan perkebunan terbengkalai sama sekali. Sawah dan ladang berubah menjadi padang ilalang. Desa-desa yang biasanya ramai menjadi sunyi senyap. Produksi beras merosot sampai 25%, produksi karet lebih dari 80%, produksi kopi 70%, teh 90%, minyak kelapa sawit k.l.75%.
Kaum tani pun bangkit melawan. Kaum tani Pancurbatu (Sumatra timur) membuka sejarah perlawanan ini. Perlawanan dimulai pada Juli 1942, tak lama setalah Jepang melakukan pendaratan. Perlawanan disebabkan pihak Jepang bersekongkol dengan beberapa sultan merebut tanah garapan kaum tani. Bulan November 1942, meletus pemberontakan kaum tani di Cut Pilieng Aceh. Pemberontakan ini memang mampu diredam Jepang, tetapi itu dilalui dengan susah payah dan jatuhnya korban yang tidak sedikit dari pihak Jepang. Sekalipun demikian, kaum tani Aceh tidak menyerah kalah. Pemberontakan selanjutnya disusul oleh kaum tani di Pandrah (kabupaten Biureun).
Ini menunjukkan bahwa kaum tani sangat berkepentingan atas hengkangnya kolonialisme, sehingga mereka melakukan perlawanan yang sengit sejak kaum penjajah menginjakkan kakinya di bumi pertiwi ini ratusan tahun yang lalu. Mengapa demikian? Karena kolonialisme berpadu dengan sistem feodalisme yang ada untuk mengeruk keuntungan sebesar mungkin dari jerih payah kaum tani yang mengelola sumber-sumber kekayaan bumi Indonesia dari tanah garapannya.
Di Jawa, pemberontakan kaum tani dimulai bulan Oktober 1943. Pemberontakan disebabkan tindakan penguasa Jepang yang merampas hasil panen kaum tani. Pemberontakan berhasil ditindas, tapi tak lama berselang, meletus pemberontakan lagi. Perlawanan kaum tani tersebut terjadi di Indramayu, Februari 1944. Disusul pemberontakan kaum tani Sukamanah, distrik Singaparna, kabupaten Tasikmalaya (Priangan Timur). Di Kalimantan Barat juga timbul pemberontakan di Kabupaten Sanggup pada Mei 1945. Kaum pemberontak bahkan berhasil mendesak mundur tentara Jepang hingga ke pantai. Pemberontakan juga dilakukan oleh PETA pada 14 Februari 1945 di bawah pimpinan syudanco Supriyadi komandan daindan PETA dari Blitar.
Dengan keadaan yang sangat sulit, perlawanan dengan organisasi bawah tanah menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari, pembentukan Geraf yang keanggotaannya tersebar cukup luas di Indonesia, Geraf dipimpin secara nasional oleh Amir Syarifuddin, Pamudji, Sukajat, Widarta dan Armunanto dengan Dr Cipto Mangunkusumo sebagai Penasehat. selain Geraf, di Indonesia juga ada Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka). Baik Geraf maupun Gerindom berisi pemuda-pemuda yang memiliki jiwa patriotik dengan pengabdian kepada rakyat begitu besar.
Saat itu kekuatan Fasis mulai terdesak dalam berbagai pertempuran, di Indonesia, Jepang juga melihat keadaan yang sudah tidak menguntungkan mereka sehingga sikap mereka kepada bangsa Indonesia juga mulai melunak, bahkan pada September 1944 Perdana menteri Jepang Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia. Bulan April 1945 di bentuk Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara situasi perang semakin menunjukkan kekalahan yang tidak bisa dihindari oleh blok Fasis termasuk Jepang, sehingga tanggal 7 Agustus 1945 di bentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jenderal Terauchi dari Jepang menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia akan di berikan kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyatakan diri menyerah.
Situasi ini dimanfaatkan oleh gerakan bawah tanah yang terus mempersiapkan perlawanan untuk saling berunding dan berhubungan, situasi dimanfaatkan untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankannya apapun taruhannya, Merdeka atau Mati adalah harga dan semboyan yang tidak bisa di ganggu gugat.
Gerakan rakyat pasca deklarasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 semakin bersemangat, Pemuda Indonesia dengan antusias mengorganisasikan diri dalam API (Angkatan Pemuda Indonesia) yang bermarkas di Menteng 31, bahkan dari Menteng 31 ini juga dilahirkan satu program dasar bagi revolusi Indonesia yaitu :
1. Negara Indonesia telah berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Semua kekuasaan harus berada di tangan Negara dan bangsa Indonesia.
3. Jepang sudah kalah, dan tidak ada hak lagi menjalankan kekuasaan di bumi Indonesia.
4. Rakyat Indonesia harus merebut senjata dari tangan Jepang.
5. Semua perusahaan (kantor, pabrik, pertambangan, perkebunan dll) harus direbut dan dikuasi oleh rakyat Indonesia dari tangan Jepang.
Program ini kemudian disebarkan secara luas, terutama oleh pemuda-pemuda Indonesia yang bekerja di kantor penerangan “Domei” (Sekarang Antara).
Di masa awal kemerdekaan, para pemuda dan kaum buruh bersatu padu untuk menduduki dan menguasasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di Indonesia. Pada awal bulan September 45, jawatan kereta api diambil alih mulai dari Bengkel Manggarai, depo-depo Jatinegara, Tanah abang, Bukitduri, stasiun Jakarta Kota, Gambir, Tanjungpriok, Senen, Manggarai dan Tanah Abang. Hal ini kemudian meluas ke seluruh daerah-daerah lain di Indonesia.
Sesudah jawatan kereta api, jawatan-jawatan lain juga direbut oleh kaum buruh. Di Jakarta, jawatan pos, telegraf dan telepon, perusahaan listrik dan gas, jawatan radio, pelabuhan dan sebagainya diambil alih. Gedung-gedung instansi dan tempat tinggal para pembesar Jepang, juga tidak luput dari aksi tersebut. Semua bangunan yang telah diambil alih ditempeli bendera kertas merah-putih dengan tulisan “Milik Republik Indonesia”. Selain itu, para pembesar Jepang juga ditendang dan digantikan oleh pegawai-pegawai Indonesia, seperti Suwirjo yang menjadi walikota pertama Jakarta di era kemerdekaan yaitu pada 29 September 1945.
Sesudah gerakan pengambilalihan jawatan dan gedung, mulai didirikan berbagai organisasi buruh, sesuai dengan jenis pekerjaan. Di lingkungan jawatan kereta api, lahir Serikat Buruh Kereta Api (SBKA). Di lingkungan jawatan PTT (Pos dan Telekomunikasi) lahir Serikat Buruh Postel dan sebagainya. Awal Revolusi Agustus, organisasi buruh bermunculan seperti cendawan di musim hujan. Berbagai serikat buruh itu dikoordinasikan oleh Barisan Buruh Indonesia yang didirikan di markas Menteng 31 (kini Gedung Juang ’45) yang dipimpin Njono. Barisan Buruh Indonesia inilah yang berkembang menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) di kemudian hari.
Kaum tani pun tidak ketinggalan menceburkan diri dalam gairah Revolusi Agustus ’45. Gerakan melawan tuan tanah dan pengambilalihan perkebunan-perkebunan milik kaum kolonial meluas di pedesaan. Di Sumatra timur (Medan dan sekitarnya), rakyat (kaum tani) bangkit melawan tentara NICA Belanda yang didukung bangsawan feodal setempat. Semua tanah onderneming asing dirampas dan dijadikan sawah, ladang serta perkampungan. Tuan-tuan tanah (Sultan-sultan lokal) pembangkang yang berpura-pura mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI tetapi dibalik itu menunggu bantuan NICA dan sekutu untuk memperkuat kedudukannya sebagai penguasa tanah, tidak luput dari sasaran perjuangan kaum tani.
Peristiwa di Sumatra timur berlangsung dari Februari-Maret 1946 dan kemudian merembet ke daerah Tapanuli dan Sumatra Barat. Hal yang sama juga terjadi di berbagai daerah seperti Peristiwa Tiga Daerah (Pemalang, Pekalongan dan Tegal), Perang Cumbok di Aceh, Perlawanan terhadap kekuasaan Kasultanan Surakarta, dan berbagai peristiwa serupa yang menandaskan perlawanan kaum tani melawan kaum tuan tanah yang didukung kolonial Belanda dan sekutu. Keterlibatan kaum tani disandarkan pada kenyataan kaum tani sebagai lapisan yang paling berat menderita akibat dominasi kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme. Kaum tani juga yang paling bergairah dalam menghadapi musuh-musuh kemerdekaan selama berkobarnya Revolusi Agustus ‘45.
Revolusi Agustus ’45 sesungguhnya sebuah perjuangan pembebasan nasional berwatak anti imperialisme dan anti feodalisme yang bersandar pada kekuatan buruh dan tani dengan sokongan utama kekuatan pemuda melalui jalan perjuangan perang gerilya. Namun perjuangan yang ditempuh ini mendapatkan hambatan dari “musuh dalam selimut” dari para borjuasi komprador yang lebih memilih “jalan diplomasi” yang banyak memberikan kerugian bagi rakyat Indonesia selama berlangsungnya Revolusi Agustus ’45.
Keteguhan Rakyat Mempertahankan Kemerdekaan di Khianati Oleh Praktek Kapitulasionisme (Menyerah Diri) Borjuasi Komprador Dalam Negeri.
Keteguhan rakyat dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam revolusi Agustus 1945, sesungguhnya tidak hanya perang melawan penjajahan Belanda yang berusaha kembali ke Indonesia dengan membonceng kedatangan pasukan sekutu. Lebih jauh dari itu praktek pengkhianatan oleh borjuasi komprador dengan cara berkompromi dengan imperialisme senyatanya telah membawa bangsa Indonesia kembali dalam lingkaran penjajahan. Borjuasi komprador selalu mengatasnamakan perjuangan dengan jalur diplomasi, akan tetapi kenyataannya setiap ada perjanjian antara Indonesia dengan Belanda, selalu saja Indonesia menjadi pihak yang dirugikan. Bahkan praktek yang dilakukan oleh borjuasi komprador adalah dengan menghancurkan kekuatan kaum progresif yang senantiasa membela kepentingan revolusi agustus.
Perjuangan tidak kenal takut dan berbagai pertempuran yang heroik dari para pemuda dan rakyat Indonesia terjadi di berbagai daerah seperti Peristiwa Magelang, Ambarawa (Palagan Ambarawa), Pertempuran 5 hari Semarang, peristiwa Surabaya (10 Nopember), peristiwa Bandung (Bandung Lautan Api), ataupun Pertempuran Medan Area dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan pada dunia, bahwa rakyat Indonesia bersatu hati membela kemerdekaannya. Itulah sebabnya, Revolusi Agustus ‘45 mendapat simpati semua orang berhati jujur dan berpikiran maju.
Akan tetapi, perjuangan rakyat yang gigih dan sengit itu, mendapatkan tentangan dari bangsa sendiri yang menjadi boneka imperialisme di dalam negeri yang ironisnya banyak duduk di pemerintahan. seperti Sjahrir sejak awal revolusi Agustus menabur benih keragu-raguan di kalangan massa rakyat, dalam prakteknya Syahrir seringkali terlalu percaya pada jalan diplomasi dan bahkan memiliki kecenderungan mengharap iba dari kaum penjajah. Sejak pertengahan November 1945 hingga awal Juli 1947, Sutan Sjahrir memimpin pemerintahan RI sebagai Perdana Menteri (PM) tiga kali berturut-turut. Selama masa kekuasaan Sjahrir, sifat ofensif yang merupakan salah satu faktor terpenting untuk membawa maju revolusi secara lambat laun, beralih ke sifat defensif yang berakibat fatal.
Hal ini dibuktikan dengan disepakatinya Perundingan Linggarjati 1947 yang berakibat pada agresi militer Belanda ke I. Perjanjian tersebut mencerminkan praktek kapitulasi borjuasi komprador terhadap kaum kolonialis dan melemahkan kebangkitan gerakan massa rakyat yang tengah bergelora. Daerah-daerah kekuasaan yang telah direbut semakin dipersempit dan diserahkan kepada Belanda dan konsekuensi dari perundingan yang harus ditanggung cukup berat, termasuk melucuti persenjataan bala tentara dan laskar-laskar rakyat, yang seharusnya dipertahankan demi terusirnya kaum penjajah dari bumi Indonesia.
Praktek-praktek kapitulasionalis juga dilanjutkan dlam pemerintahan Hatta yang menjabat PM sejak Januari 1948 setelah menjatuhkan kabinet Amir Syarifuddin, kemudian Hatta memberlakukan program “Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra)” pada Maret 1948. Kebijakan Re-Ra pada kenyataannya justru menghancurkan kekuatan bersenjata laskar-laskar rakyat, pemuda, bala tentara berpikiran maju dan kekuatan progresif lainnya.
Akibatnya program Re-Ra Hatta tidak diterima di seluruh tubuh TNI dan memunculkan banyak pertentangan dari golongan yang berada di medan pertempuran sebenarnya. Salah satu yang menolak adalah Divisi IV Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto yang bermarkas di Solo. Program ini ditentang dengan alasan yang sangat masuk akal “Mengadakan rasionalisasi dalam lingkungan angkatan bersenjata pada saat Belanda memperbesar angkatan perangnya, itu sama saja dengan politik melucuti diri sendiri” dan ini sama saja dengan bunuh diri.
Divisi IV Panembahan Senopati melangsungkan demonstrasi penolakan Re-Ra di Surakarta yang mendapat dukungan luas dari rakyat Surakarta, Demonstrasi dilakukan bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 20 Mei 1948. Tapi pada tanggal 3 Juli 1948 kolonel Sutarto di tembak saat berada di depan rumahnya oleh pasukan dari Divisi Siliwangi. Tindakan ini kemudian berujung dengan tindak kekerasan dan penumpasan laskar progresif rakyat di banyak wilayah termasuk di dalamnya laskar di madiun, dan beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tanggal 21 Juli 1948 bahkan diadakan pertemuan tertutup di Sarangan di lereng timur Gunung Lawu) yang dihadiri 2 orang perwakilan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan 6 orang perwakilan pemerintah Indonesia. Sarangan (Wakil pemerintah AS adalah Gerard Hopkins (penasehat urusan politik luar negeri presiden Truman) dan H. Mevle Cochran (wakil AS dalam Komisi Jasa-jasa Baik yang ditugaskan untuk mengawasi perundingan-perundingan antara Belanda dengan Indonesia). Perwakilan RI adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden merangkap PM Mohammad Hatta, Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, Menteri penerangan Moh. Natsir, Mohammad Roem dan Kepala Kepolisian Negara Sukanto.
Dalam pertemuan itu, dibicarakan apa yang dikenal dengan “red drive proposals”. Proposal ini berisi rencana dari imperialisme AS untuk membasmi kaum progresif Indonesia yang disetujui oleh pemerintahan Hatta. Ketika berita-berita mengenai konferensi yang mengambil keputusan jahat terhadap rakyat Indonesia itu diumumkan dalam beberapa majalah, surat kabar dan brosur-brosur, tidak ada sepatah pun bantahan dari pihak yang bersangkutan. Bahkan tidak ada bantahan ketika disiarkan berita bahwa sebagai imbalan pelaksanaan red drive proposals, pemerintah Hatta menerima uang sebesar $ 56 juta dari State Department AS lewat Biro Konsultasi AS di Bangkok.
Setealah itu serangkaian kebijakan yang sangat merugikan perjuangan rakyat Indonesia dijalankan. Kekuatan progresif rakyat di hancurkan lewat berbagai kebijakan dan tindakan yang sangat memundurkan kualitas perjuangan bangsa Indonesia. Gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diserbu dan diduduki oleh tentara. Kesatuan Brigade Mobil (Brimob) Polisi Bojonegoro pimpinan Asmaun dilucuti. Sementara itu, pemogokan kaum buruh Delanggu (Surakarta) yang berlangsung 27 Mei-30 juni 1948 dan diikuti lebih dari 30.000 orang menuntut perbaikan nasib, ditindas dengan kekerasan. Di saat bersamaan, pemerintah Hatta justru mengirim Kepala Kepolisian RI ke AS. Bahkan Tepat 17 Agustus 1948, eks pengikut Tan Malaka yang ditawan karena peristiwa 3 Juli ’46, dikeluarkan dari penjara yang akhirnya justru ikut menghancurkan kekuatan progresif yang ada.
Peristiwa 3 Juli 1946 sendiri merupakan sebuah peristiwa penculikan terhadap Mr. Amir Syarifuddin yang saat itu menjabat Menteri Penerangan dan Pertahanan, peristiwa ini diawali penculikan terhadap PM Sjahrir dan sejumlah menteri kabinet pada 27 Juni 1946 yang dipimpin Tan Malaka melalui “Persatuan Perjuangan” yang dipimpinnya. Tapi usaha kudeta terselubung dari Tan Malaka tersebut, mampu digagalkan oleh laskar pemuda paling patriotis dan pemberani yaitu laskar Pesindo.
Puncaknya adalah Peristiwa Madiun September 1948. Kejadian ini terlebih dahulu diawali insiden berdarah di Surakarta (Solo), dimana Divisi IV Panembahan Senopati dijadikan bumper sasaran tembak peluru Divisi Siliwangi yang merupakan binaan Hatta. Penangkapan besar-besaran kemudian terjadi terhadap para pemuda dan kaum progresif lainnya, banyak diantara mereka dieksekusi mati tanpa proses peradilan. Penangkapan, pengejaran dan pembunuhan terjadi di Jogja, Pati, Cepu, Blora, Kediri, Malang Selatan, dan daerah-daerah lainnya. Di Malang terjadi pembunuhan massal yang jenazahnya dikuburkan di daerah Malang Selatan.
Kaum muda yang tergabung dalam laskar Pesindo adalah korban terbesar dari politik keji Hatta, salah satu yang jadi korbannya adalah Komandan PLTD (Pimpinan Laskar Jawa Timur) bernama Jusuf Bakri. Begitu juga dengan Mr. Amir Sjarifuddin dan 10 kawannya yaitu Maruto Darusman, Suripno, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Oei Gee Hwat, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku. Musso pimpinan PKI ketika itu, turut menjadi korban penembakan pasukan Hatta pimpinan Kolonel Gatot Subroto. Operasi keji dan penuh darah oleh Hatta melalui provokasi Madiun 1948, telah banyak menggugurkan putra-putra terbaik negeri ini, termasuk kaum pemuda pemberani yang dengan tulus, jujur dan sepenuh hati mengabdi kepada Revolusi Agustus ’45 untuk mengusir kembali kaum kolonialis Belanda yang disokong imperialis AS.
Tindakan ini akhirnya menumpulkan sebagian besar kekuatan progresif rakyat yang terus melawan kembalinya Belanda ke Indonesia. Pasca provokasi Madiun, terjadi agresi militer Belanda II, Desember 1948. Serangan ini berhasil menduduki ibukota Negara Yogyakarta dan menahan pimpinan tertinggi Indonesia : Soekarno, Hatta, Sjahrir dan KH Agus Salim di bawah tawanan Kol. Van Langen.
Ibukota Indonesia dan Kota-kota lainnya boleh diduduki Belanda, akan tetapi kekuasaan Kolonial tidak pernah mampu menaklukkan desa dan pinggiran kota. Pasca pendudukan Belanda, Kaum tani di pinggiran kota dan di daerah pedesaan serentak tidak mau menjual bahan makanan termasuk beras ke kota. Uang NiCA tidak berlaku bagi rakyat dan kaum tani, yang berlaku hanyalah uang RI, aksi tersebut mengakibatkan Yogyakarta kekurangan bahan makanan. Belanda terpaksa mendatangkan beras dari Semarang yang datang dengan diangkut konvoi bersama pengawalan yang sangat ketat. Kekuasaan Belanda hanya berlaku di kota, di samping terus melakukan perlawanan dengan tidak mau menjual hasil tani ke Belanda, kaum tani juga dengan sukarela menyediakan rumah mereka untuk pasukan gerilya RI. Kaum tani bahkan dengan gembira menyediakan bahan makanan bagi para pejuang kemerdekaan.
Disisi lain eks-eks tawanan peristiwa Madiun yang selamat tidak tinggal diam. Mereka membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap kaum aggressor Belanda, sehingga muncul kembali pasukan-pasukan rakyat bersenjata yang terus melanjutkan perang gerilya. Jumlah mereka semakin hari semakin besar, persenjataan juga semakin bertambah banyak. Senjata diperoleh dari pertempuran-pertempuran melawan patroli Belanda atau melecuti pasukan lain yang melarikan diri karena dikejar Belanda.
Pasukan ini muncul terutama di sekitar ibukota Jogjakarta, Kedu, Semarang (di daerah Salatiga), Pati, Surakarta (antaranya di kompleks Merapi-Merbabu), Madiun, Kediri (antaranya daerah Blitar Selatan dengan “batalyon Brantas”-nya), Malang (terutama di kompleks Gunung Kawi), dan lain-lainnya. Keistimewaan dari pasukan-pasukan rakyat ini, anggota-anggotanya mempunyai kesadaran politik yang tinggi dan pada umumnya berasal dari kaum tani, karena itu tidak heran jika mereka tidak pernah canggung bergerak di tengah-tengah massa luas.
Salah satu aktivitas dari pasukan rakyat ini adalah apa yang terjadi di sekitar Jogjakarta ketika Belanda sudah menduduki kota tersebut. Setelah sepuluh hari Belanda menduduki Jojga, Pasukan RI yang diperkuat pasukan dari laskar-laskar Rakyat mulai melancarkan serangan balasan pertamanya. Diantara laskar rakyat tersebut, pasukan-pasukan eks laskar pesindo juga turut serta, termasuk dalam serangan balasan 9 Januari 1949. Dalam kedua serangan balasan tersebut, pasukan Belanda dijangkiti kepanikan yang luar biasa. Pasukan-pasukan bersenjata RI bersama pasukan bersenjata rakyat berhasil menyerbu sampai ke tengah-tengah kota. Hal Ini diikuti kemudian dengan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang berhasil menduduki kembali ibukota Negara Yogyakarta selama 6 jam dan disiarkan ke luar negeri bahwa Republik Indonesia masih tegak berdiri.
Menghadapi perlawanan yang semakin luar biasa dari rakyat Indonesia, kaum imperialis dihadapkan pada pilihan apakah bekerja sama dengan pemerintah RI yang terdiri dari komprador-komprador dengan memberikan konsesi-konsesi, atau memilih melanjutkan peperangan melawan kekuatan progresif Indonesia dan yang pasti akan melancarkan perang pembebasan sampai kemenangan terakhir dan Merdeka sepenuhnya, tidak peduli berapapun lamanya. Kaum imperialis tidak memiliki pilihan lain, selain yang pertama.
Tanggal 14 April 1949, di Jakarta diadakan perundingan antara Muhammad Roem dari Indonesia dan Van Royen atau dikenal dengan perundingan Roem-Royen. Tanggal 7 Mei 1949, lahir kesepakatan bersama bahwa Indonesia menghentikan perang gerilya, bersedia kerja sama untuk mengatur perdamaian dan keamanan serta bersedia mengadakan Konferensi Meja Bundar dengan Belanda. Sebaliknya, pihak Belanda akan mengembalikan kekuasaan Republik Indonesia, membebaskan orang-orang yang ditawan sejak 17 Desember 1948 dan berjanji tidak akan mendirikan “negara-negara” baru di luar yang sudah didirikan sebelum perang kolonial kedua. Pertemuan ini tidak terlepas dari intervensi imperialis AS melalui Marle Cochran.
Nasehat-nasehat Cochran dalam pertemuan tersebut sangat menentukan hasil perundingan. Belanda sendiri pasca PD II mendapat bantuan dari AS dalam jumlah yang sangat besar. Tanpa bantuan sebesar $ 469.000.000 via Marshal Plan dan $ 140.000.000 dari World Bank, mustahil Belanda mampu memelihara pasukan yang begitu besar di Indonesia untuk melancarkan perang kolonial (Agresi) pertama dan kedua. Sementara pemerintah RI justru sibuk berilusi bahwa imperialis AS dalam menengahi sengketa Belanda-RI akan lebih berpihak pada RI, di lain sisi AS juga memberi iming-iming ke Indonesia bantuan materiil berupa bantuan keuangan.
Kemunduran besar bagi perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia dalam Revolusi Agustus ’45, terjadi ketika diselenggarakannya Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Perjanjian KMB ditandatangani Belanda, RI dan 15 “negara” dan “daerah-daerah istimewa” boneka bentukan Belanda atau BFO (Bijenkomst Federale Overleg). Sejak 27 Desember 1949, di Indonesia telah lahir suatu negara baru, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara baru ini mengadakan ikatan melalui Uni Indonesia-Kerajaan Belanda. Kepala Uni ini adalah ratu Belanda, Pemerintah Indonesia melalui Hatta justru menggembor-gemborkan hal tersebut sebagai “kemenangan besar”.
Akibat KMB, Indonesia dipaksa untuk membayar hutang Hindia Belanda kepada kerajaan Belanda dan Negara Imperialis lainnya. Jumlah yang harus dibayar tidak kurang dari 4.300.000.000 Florin (Gulden) atau sama dengan $ 300.000.000, yang artinya Indonesia juga harus membayar biaya perang Belanda dalam agresi I dan II. Hal ini sama saja dengan membayar ongkos pemeliharaan tentara Belanda dalam upayanya menjajah dan menindas rakyat Indonesia.
Sesuai dengan perjanjian KMB, semua milik kaum modal asing (Belanda dan yang lain-lain, kecuali Jepang dan Jerman) tidak boleh diganggu gugat dan harus mendapatkan perlindungan sebaik-baiknya dari Indonesia. Milik kaum imperialis tersebut meliputi perusahaan-perusahaan perkebunan, berbagai macam pabrik, tambang pengangkutan, perbankan, pusat-pusat tenaga pembangkit listrik dan lain sebagainya. Dengan sendirinya, pihak Indonesia dipaksa memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada modal monopoli asing untuk beroperasi di wilayah Indonesia.
Perjanjian KMB hakekatnya pukulan balik yang mematikan bagi perjuangan pembebasan nasional rakyat Indonesia yang dilalui dengan tetesan darah, jiwa dan pengorbanan yang begitu besar. Kaum borjuasi komprador seperti Hatta dan Syahrir sesungguhnya telah mengkhianati cita-cita mulia Revolusi Agustus ’45. Tetapi Rakyat tidak pernah diam saja atas politik avonturir dan kapitulasionis Hatta-Syahrir yang sangat merugikan rakyat. Sejak dimulainya perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk mempersiapkan KMB dan sesudah perjanjian KMB dilaksanakan, banyak pendapat yang menentang bahkan memicu aksi-aksi perlawanan rakyat. Ketika persetujuan Roem-Royen diumumkan, sebuah surat kabar Jakarta (Harian Merdeka) menulis bahwa Indonesia telah menderita kekalahan dan kekalahan itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Untuk menjamin keamanan perusahaan-perusahaan modal monopoli asing di Indonesia, pemerintah membuat sebuah undang-undang perburuhan yang anti buruh lewat Menteri perburuhan Tedjakusuma. Kalangan buruh kala itu menyebutnya sebagai “Undang-undang Tedjakusuma”. Berdasarkan undang-undang tersebut, kaum buruh yang akan mengadakan aksi harus memberitahukan 3 minggu sebelumnya. Pemerintah berhak memperpanjang batas waktu ini dan mempunyai hak veto dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara buruh dan majikan. Panitia arbitrase yang dibentuk atas dasar “Undang-undang Tedjakusuma” lebih banyak berpihak kepada majikan daripada melindungi kepentingan buruh.
KMB juga menghadapi perlawanan keras dari kaum tani. Ketika Jepang menduduki Indonesia, banyak onderneming-onderneming asing yang diubah menjadi tanah garapan kaum tani sebagai milik mereka sendiri. Selama Revolusi Agustus ’45, perkebunan-perkebunan milik kolonial itu banyak yang berubah menjadi pedesaan-pedesaan dengan tanah ladang, jalur-jalur lalu lintas, gedung-gedung sekolah dan lain-lainnya. Ketika perkebunan-perkebunan asing harus dikembalikan, sudah barang tentu kaum tani tidak mau menyerahkannya. Timbullah persengketaan berdarah, karena tentara dan brigade mobil polisi (Brimob) bersenjata ditugaskan mengusir kaum tani. Muncullah peristiwa-peristiwa berdarah yang sangat memilukan dan tragis bagi kaum tani, seperti di peristiwa Tanjung Morawa Sumatra Utara, peristiwa berdarah di Jengkol (Karesidenan Kediri, Jawa timur), peristiwa berdarah Ketahun (Boyolali, Jawa Tengah), peristiwa berdarah Bandar Betsy (Aceh) dan lain-lainnya.
Kekecewaan juga dialami oleh kalangan pemuda. Upaya menyatukan kekuatan pemuda melalui Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI), bubar tidak lama setelah KMB berjalan. Laskar pemuda PESINDO dihancurkan melalui peristiwa Madiun. Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman pun kecewa dengan adanya KMB. Tatkala dirinya dan bala tentara bergerilya melawan kaum kolonial Belanda, dilakukan perjanjian yang merugikan tersebut.
Jelas sudah bahwa semangat Revolusi Agustus ’45 untuk mengenyahkan kolonialisme-imperialisme dan sisa-sisa feodalisme, ternyata telah dinodai oleh pengkhianatan para boneka imperialisme AS di dalam negeri yang diwakili klik Hatta-Sjahrir yang disokong kelompok Natsir dan kelompok avonturir Tan Malaka. Situasi buruk dari pelaksanaan KMB dan tentangan terhadap KMB yang meluas dari rakyat Indonesia, akhirnya memaksa Soekarno mengumumkan Indonesia kembali lagi kepada NKRI pada tahun 1950.
Pemuda Berjuang Bersama Rakyat Dalam Revolusi Agustus 1945.
Rakyat Indonesia begitu antusias menyambut proklamasi kemerdekaan RI dan rela berkorban untuk membela kemerdekaan tersebut. Kaum buruh pada awal Revolusi Agustus ‘45 dengan gairah merebut perusahaan–perusahaan milik asing untuk RI, begitupun kaum tani dengan gagah berani merebut perkebunan-perkebunan milik asing sekaligus melawan kaum tuan tanah.
Bagaimana dengan kekuatan pemuda Indonesia ketika itu? Sejak memiliki semangat kebangsaan lewat kelahiran Sumpah Pemuda 1928 dan kebangkitan kesadaran politik, kaum muda terutama yang dimotori oleh pemuda terpelajar, banyak memainkan perannya dalam kancah perubahan politik di Indonesia.
Di masa kolonial fasis Jepang, kaum pemuda mengambil jalan perjuangan “bawah tanah” atau Klandestein dengan membentuk Geraf dan Gerindom. Mereka bekerja melalui grup-grup kerja tertutup. Kerja bawah tanah dilakukan untuk mengkonsolidasikan seluruh kekuatan yang ada, termasuk menyusup ke dalam barisan Pembela Tanah Air (PETA). Hal ini yang salah satunya melahirkan pemberontakan PETA di Blitar 14 Februari 1945. Beberapa tokoh pemuda nasional secara khusus, mendapatkan binaan dari para tokoh politik senior di Asrama Menteng 31 (kini Gedung Joeang 45 Jakarta), sekaligus merumuskan gagasan-gagasan tentang kemerdekaan Indonesia.
Kaum fasis Jepang akhirnya menyerah tanggal 14 Agusutus 1945 setelah Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh sekutu, sekaligus mengakhiri perlawanan poros fasis (Jerman, Jepang dan Italia) dalam Perang Dunia II melawan Uni Soviet dan Sekutu AS-Inggris. Kenyataan ini memaksa Jepang berpikir untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wediodiningrat berangkat ke Dalat (utara Saigon-Vietnam) menemui Jenderal Terauchi di markasnya (Panglima Besar Jepang di Asia Timur). Dalam pertemuan itu, Terauchi menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada 24 Agustus 1945. Diharapkan pada 19 Agustus 1945, Panitia Penyelidikan Kemerdekaan (PPKI) sudah menyelesaikan konstitusi bagi negara yang akan didirikan itu.
Setibanya rombongan Soekarno ke Jakarta tanggal 14 Agustus 1945, pemuda-pemuda yang bergerak di bawah tanah yang sudah mengetahui bahwa Jepang telah menyerah, melakukan berbagai persiapan untuk menuju percepatan kemerdekaan Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, para pemuda mendesak Sukarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Terjadi perdebatan serius antara Soekarno dan para pemuda akan hal ini. Soekarno setuju memproklamasikan kemerdekaan, tetapi yang melaksanakan haruslah Panitia Persiapan Kemerdekaan yang dipimpinnya.
Pendapat Soekarno ditentang keras para pemuda, karena itu akan mengesankan pada dunia bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan ciptaan kaum fasis Jepang. Kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah. Saking panasnya, Wikana (salah satu tokoh pemuda ketika itu) mengancam akan terjadi pertumpahan darah besok paginya, jika sampai 15 Agustus malam belum juga diproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mempersilahkan saat itu ia dibunuh saja dan tidak perlu menunggu besok pagi. Reaksi Soekarno menyebabkan para pemuda agak mundur. Tapi apa yang terjadi besok paginya cukup menggemparkan. Soekarno sekeluarga diculik dan “disimpan” di Rangkasdengklok.
Pada 16 Agustus 1945, diadakan pertemuan di rumah Laksamana Muda Maeda jalan Diponegoro. Pertemuan ini dihadiri para anggota PPKI, tokoh-tokoh dunia pergerakan dan tokoh-tokoh pemuda. Pertemuan itu akhirnya mengesahkan teks proklamasi yang dirumuskan panitia kecil malam itu di rumah Maeda. Akhirnya, pembacaan teks proklamasi kemerdekaan dilangsungkan pada 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta yang kemudian diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 18 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan laksana arus listrik yang memancar ke segala penjuru. Pemuda-pemuda yang bekerja di kantor berita Domei berulang kali menyiarkan teks proklamasi secara luas. Berita itu tidak saja diterima pemancar Indonesia, tetapi juga oleh Australia, Filipina, Srilanka dan lain-lain. Dari berbagai tempat itulah, berita kemerdekaan Indonesia disiarkan lagi secara lebih luas ke dunia Internasional.
Berbagai daerah luar Jawa telah siap menerima berita kemerdekaan, karena banyak pemuda beberapa bulan sebelumnya disebar ke berbagai pelosok dari Jakarta untuk mempersiapkan rakyat akan tibanya hari kemerdekaan. Ini pula yang menjadi salah satu sebab, mengapa rakyat di berbagai daerah bangkit serentak merebut kekuasaan politik dari tangan Jepang.
Salah satu pusat aktivitas pemuda dan rakyat di masa awal kemerdekaan adalah markas Menteng 31 Jakarta. Tanggal 11 September 1945, dibentuk organisasi pemuda Angkatan Pemuda Indonesia (API) di markas Menteng 31. Berkat ketangkasan pemuda-pemuda Indonesia, komando markas Menteng 31 berjalan baik di seluruh Indonesia. Banyak markas tentara Jepang yang diserbu rakyat dan berhasil dilucuti persenjataan yang ada, meskipun di banyak tempat terjadi pertempuran sengit dan mengakibatkan jatuhnya korban di kedua belah pihak.
Di sisi lain, kaum pemuda bersama buruh juga ambil bagian dalam gerakan pengambilalihan perusahan-perusahaan asing. Bersamaan dengan aksi ambil alih tersebut, berbagai gedung penting dicat dengan semboyan-semboyan beraneka macam. Kendaraan umum seperti bis, gerbong kereta api ataupun tram listrik. Semboyan-semboyan itu baik dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Di mana-mana orang melihat semboyan “Merdeka atau mati” dan “Sekali merdeka, tetap merdeka”, di samping semboyan-semboyan “Hands off Indonesia” (jangan ganggu Indonesia), “Van Mook no…Sukarno yes” (Van Mook tidak…Sukarno ya), “Indonesia never again the lifeblood of any nation” (Indonesia tidak akan lagi darah yang menghidupi nasion lain), dan lain sebagainya.
Para seniman lukis muda memainkan peranan penting dalam aksi-aksi coret-menyoret tersebut, seperti S. Sudjojono, Basuki Resobowo, Sudarso, Afandi, dan lain-lain. Komponis muda Cornel Simanjuntak menciptakan lagu-lagu perjuangan yang menggugah semangat, di antaranya “Maju tak gentar”. Para seniman tersebut di samping pegang kuas atau gitar, juga menyandang bedil dan ikut menyerbu markas musuh.
Pada tanggal 15 September 1945, bala tentara sekutu yang diboncengi tentara NICA Belanda mendarat di Indonesia. Untuk menghadapi segala kemungkinan, markas Menteng 31 memutuskan untuk memobilisasi massa pada 19 September 1945 di lapangan Ikada (kini Lapangan Banteng) dengan melangsungkan rapat raksasa. Sejak pagi hari, rakyat Jakarta berbondong-bondong menuju ke Lapangan Ikada dengan membawa takeyari (bambu runcing). Kereta api dari jurusan timur, selatan dan barat penuh sesak dengan penumpang menuju tempat rapat raksasa. Di samping itu, datang juga wakil-wakil rakyat dari Jawa tengah dan Jawa timur.
Pada 19 September 1945, lapangan Ikada dipenuhi lautan massa yang lebih kurang sejuta jumlahnya dengan bambu runcing sebagai senjata di tangan. Di pihak lain, barisan tentara Jepang dengan bayonet terhunus dilindungi satu pasukan senapan mesin dan dibantu oleh barisan tank. Di satu sisi, terdapat rakyat yang penuh semangat tak takut mati membela proklamasi kemerdekaan dan bangga atas keampuhan bambu runcing di tangan mereka. Rakyat sudah tidak takut lagi dengan Jepang yang memiliki senjata lebih modern akan tetapi pasukan Belanda mental dan moralnya sudah habis atau patah semangat. Tentara Dai Nippon juga digentarkan oleh semboyan-semboyan perjuangan lautan manusia yang gegap gempita.
Berhubung gentingnya keadaan melihat demonstrasi kebulatan tekad rakyat hari itu, rapat tidak berlangsung lama. Presiden Soekarno hanya beberapa menit saja memberikan wejangannya. Dalam pidato yang paling singkat dalam sejarah hidupnya, ditegaskan bahwa isi proklamasi kemerdekaan akan dipertahankan sepenuhnya dan tidak ada satu katapun yang akan ditarik. Sesudah itu, Presiden meminta dengan sangat supaya massa rakyat meninggalkan lapangan dengan rapi dan tenang.
Dalam masa awal Revolusi Agustus ’45, kaum pemuda bersatu padu bersama rakyat dalam laskar-laskar bersenjata rakyat melawan sisa kekuasaan kolonoial Jepang dan kekuatan sekutu yang diboncengi NICA Belanda ke Indonesia. Kaum pemuda dengan segala daya upayanya hingga mengorbankan nyawanya, tidak ragu dan terus maju dengan semangat bergelora dan gegap gempita mempertahankan kemerdekaan yang telah direbut dari kaum penjajah. Patriotisme dan militansi kaum pemuda ketika itu, telah membakar darah muda mereka menjadi buncahan api perlawanan sebagai salah satu tenaga penggerak penting dalam revolusi Agustus ‘45.
Upaya kaum pemuda untuk mendukung sepenuhnya Revolusi Agustus ’45 terus dijalankan. Tanggal 6-10 November 1945, dilangsungkan Kongres pemuda pertama dalam alam kemerdekaan. Kongres ini diselenggarakan di Yogyakarta di Balai Mataram atau gedung Societeit Mataram. Sejak proklamasi kemerdekaan, bermunculan berbagai organisasi pemuda. Di Jakarta berdiri API (Angkatan Pemuda Indonesia). Di Jawa tengah lahir AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) yang berpusat di Semarang di bawah pimpinan S Karno. Di Yogyakarta, berdiri GERPRI (Gerakan Pemuda Republik Indonesia) di bawah pimpinan S. Lagiono. Di Jawa Timur, lahir PRI (Pemuda Republik Indonesia) berpusat di Surabaya. Beberapa tokoh PRI antara lain Sumarsono, Bambang Kaslan, Ruslan Widjajasastra.
Di samping organisasi-organisasi pemuda di atas, masih terdapat organisasi pemuda jawatan seperti Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), Angkatan Muda Gas dan Listrik (AMGL), Angkatan Muda Pos, Telepon dan Telegrap (AMPTT), Angkatan Muda Guru (AMG) dan sebagainya. Kaum putri mendirikan organisasi sendiri dengan nama Persatuan Pemuda Putri Indonesia (PPPI). Pemuda-pemuda yang memeluk agama Islam menyatukan diri dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Kaum pemuda Kristen mendirikan Persatuan Pemuda Kristen Indonesia (PPKI). Barisan pelopor yang didirikan dalam jaman Jepang menjelma menjadi Barisan Banteng dan bermarkas di Surakarta. Pemuda-pemuda dari kepulauan lain yang tinggal di Jawa membentuk organisasi seperti Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan sebagainya.
Kongres pemuda yang bersejarah di Yogyakarta tersebut melahirkan dua organisasi yang kemudian ikut memainkan peranan dalam Revolusi Agustus ‘45. Pertama, Kongres melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia, (Pesindo). Organisasi ini merupakan hasil fusi 7 (tujuh) organisasi pemuda yaitu API (Angkatan Pemuda Indonesia), AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), GERPRI (Gerakan pemuda republik Indonesia), PRI (Pemuda Republik Indonesia), AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), AMPTT (Angkatan Muda Pos, Telpon dan Telegrap) dan AMGL (Angkatan Muda Gas dan Listrik).
Pesindo merupakan organisasi terbesar dan terkuat dalam hal persenjataan. Pesindo juga menjadi anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (World Federation of Democratic Youth/WFDY) yang mempunyai hubungan erat dengan Organisasi Pemuda Belanda (Algemene Nederlandse Jeugd Vereniging) dan Liga Pemuda Eureka (Eureka Youth League) Australia. Pesindo lah yang menyelamatkan Sjahrir dari kudeta terselubung Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan yang dipimpinnya. Laskar Pesindo juga menjadi kekuatan tempur paling hebat dalam peperangan melawan sekutu dan NICA.
Kedua, Kongres melahirkan satu badan federasi dengan nama Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, (BKPRI). BKPRI terdiri dari IPI (Ikatan Pelajar Indonesia), PPPI (Persatuan pemuda Putri Indonesia), Barisan Banteng, KRIS (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi), PIM (Pemuda Indonesia Maluku), GPII (Gerakan pemuda Islam Indonesia), AMK (Angkatan Muda kalimantan), AMP (Angkatan Muda pembangunan), Pesindo dan 14 organisasi pemuda lainnya.
Badan tertinggi BKPRI adalah rapat presidium. Dalam presidium duduk wakil dari semua anggota BKPRI. Untuk melaksanakan putusan-putusan rapat presidium, dibentuk dua badan eksekutif, yaitu Dewan Pekerja Pembangunan dipimpin Wikana dan Dewan Pekerja Perjuangan dipimpin Sumarsono. Awalnya, berkedudukan di Jakarta. Ketika pemerintah pusat pindah ke Yogya, badan ini juga ikut pindah. Dewan Pekerja Perjuangan bermarkas di Madiun.
Dewan Pekerja Perjuangan memegang peranan yang lebih menonjol. Badan ini memiliki pemancar radio yang diberi nama Gelora Pemuda. Untuk melakukan propaganda yang efektif, diciptakan wayang bentuk baru yaitu wayang suluh. Berbeda dengan wayang kulit biasa, wayang ciptaan baru ini lakonnya tidak diambil dari Mahabharata atau Ramayana, melainkan dari perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia sendiri. Oleh karena itu, wayang-wayangnya melukiskan tokoh-tokoh perjuangan dengan pakaian sehari-hari mereka. Hari Pahlawan 10 November untuk memperingati perlawanan rakyat dan pemuda Surabaya adalah salah satu hasil perjuangan Badan kongres Pemuda Republik Indonesia.
BKPRI juga menjadi anggota Gabungan Pemuda Demokratis Sedunia (WFDY). Dengan demikian, BKPRI mempunyai hubungan dengan gerakan pemuda progresif di seluruh dunia. BKPRI tidak pernah absen dalam festival pemuda sedunia yang diselenggarakan oleh WFDY. Saat WFDY dan IUS (International Union of Students) menyelenggarakan Konferensi pemuda Asia di Kalkuta (India) Februari 1948, BKPRI juga mengirimkan delegasi.
BKPRI tidak hanya mengirimkan delegasi ke luar negeri, tapi juga menerima delegasi-delegasi pemuda dari luar negeri. Dalam bulan Mei 1947, WFDY mengirimkan delegasi ke Indonesia sebagai tamu BKPRI. Delegasi ini terdiri dari 3 orang, Jean Lautissier dari Perancis, Tajko Tomovic dari Yugoslavia dan Olga Chetchotkina dari Uni Sovyet. Di Indonesia, mereka mengunjungi berbagai medan pertempuran, mengadakan pertemuan dengan presidium BKPRI dan pimpinan berbagai anggota BKPRI serta mengadakan ceramah di banyak tempat yang mendapatkan perhatian besar.
Itulah upaya-upaya yang dilakukan pemuda Indonesia dalam kancah Revolusi Agustus ’45. Ini menunjukkan bahwa Revolusi Agustus ’45 memang menjadi kehendak bersama seluruh rakyat Indonesia ketika itu, termasuk bagi pemuda Indonesia. Sayangnya, upaya itu harus menemui berbagai liku akibat pengkhianatan klik Hatta-Sjahrir yang tidak menghargai sama sekali pengorbanan jiwa dan raga rakyat Indonesia dengan menempuh jalan diplomasi untuk mencapai kedaulatan Bangsa Indonesia.
Mengobarkan Kembali Semangat Perjuangan Rakyat dalam Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menyadari bahwa sesungguhnya kita belumlah mencapai kemerdekaan yang sejati, dan kemerdekaan sepenuhnya Indonesia hanyalah bisa dicapai lewat perjuangan yang memiliki watak anti imperialisme dan feodalisme serta mengeliminasi kekuatan pendukung imperialisme dalam negeri yang termanifestasikan pada kekuasaan para kapitalisme birokrat dan borjuasi besar komprador. Perjuangan ini hanya akan mampu terwujud jika ada persatuan dari seluruh klas, sektor dan golongan yang anti pada imperialisme dan feodalisme, dengan bersandar pada kekuatan pokok klas buruh dan tani.
Karena pada kenyataannya sampai tahun 2009 ini, tidak satupun rejim yang memerintah Indonesia mampu memberikan kesejahteraan pada rakyat. Di masa kekuasaan orde lama yang dipimpin Soekarno, upaya untuk melawan dominasi imperialisme AS pernah coba dilakukan. Soekarno berupaya melakukan hal tersebut mulai dari proses nasionalisasi aset-aset asing (tahun 50an akhir – awal 60an) terhadap aset-aset asing milik Belanda, AS dan Inggris melalui politik Ekonomi Benteng. Tetapi Ekonomi Benteng gagal mencapai tujuannya, karena ini digunakan oleh klik militer Angkatan Darat (AD) yang bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha komprador untuk dikelola oleh mereka, yang dalam perkembangan selanjutnya di masa orde baru menjadi bagian dari klik konglomerat Cendana.
Di lapangan agraria, atas desakan kaum tani kala itu, pemerintahan Soekarno akhirnya memberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil No. 2 tahun 1960, dalam upaya membatasi kepemilikan lahan atau monopoli tanah dan pembagian hasil pertanian yang lebih berpihak kepada kaum tani. Tetapi hingga saat ini, kedua produk perundang-undangan yang cukup berpihak kepada kaum tani tersebut belum diwujudkan secara nyata di lapangan.
Hal lain yang dilakukan Soekarno dengan politik anti Neo kolonialisme-imperialisme (Neokolim) nya, menyatakan kepada AS untuk angkat kaki dari Indonesia dengan semboyan “Go To Hell AS With Your Aid”. Indonesia keluar dari PBB dan memilih menjalin kerjasama dengan Uni Soviet dan Tiongkok serta negeri-negeri Eropa Timur. Kemudian diselenggarakan juga Konfrensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955 untuk memperkuat solidaritas anti kolonialisme anti imperialisme dari negeri-negeri Asia dan Afrika yang baru memerdekan diri dari belenggu penjajahan. Juga diterapkan program Manipol Usdek (Manifestasi Politik Untuk Sosialisme dan Demokrasi Ekonomi) dan Tri Sakti (Politik Non Intervensi Asing, Kemandirian Ekonomi dan Kepribadian Budaya Indonesia) untuk menghalau terjangan imperialisme serta memperkuat kedaulatan nasional.
Namun semua upaya dari pemerintahan Soekarno tersebut benar-benar kandas, tatkala kaki tangan imperialisme di dalam negeri yang diwakili klik Soeharto-Nasution dengan sokongan penuh imperialisme AS, melakukan provokasi (teror putih) melalui tragedi G-30 S 1965 yang berujung dengan pembunuhan massal dan penahanan terhadap jutaan rakyat klas buruh, kaum tani, pemuda, mahasiswa, perempuan dan golongan progresif lainnya di Indonesia, yang sekaligus mentasbihkan Soeharto sebagai orang nomor satu di Indonesia menggantikan kedudukan Soekarno.
Naiknya Soeharto sebagai penguasa RI yang disokong oleh imperialisme AS, adalah petaka besar bagi rakyat Indonesia selama 30 tahun lebih. Di awal kekuasaannya, rejim Seoharto membuka kesempatan seluas mungkin bagi kapitalis monopoli asing untuk merampok negeri ini dengan keluarnya UU Penanaman Modal No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Ditindaklanjuti kemudian dengan pengajuan utang luar negeri kepada IGGI (International Group Government on Indonesia) untuk mendanai pembangunan yang dijalankan oleh rejim orde baru (orba) serta kucuran bantuan dari IMF dan World Bank.
Selama masa kekuasaan orba, pembangunan dilancarkan secara luar biasa. Tetapi sesungguhnya pembangunan yang dilakukan oleh Seoharto, tidak memilik pondasi ekonomi yang kuat. Industri yang dikembangkan adalah industri subtitusi impor (ISI) dan industri orientasi ekspor (IOE). Pasokan bahan mentah dan bahan baku dikirim ke luar negeri, sementara untuk memenuhi pasokan industri (modal dan teknologi) dan kebutuhan dalam negeri didapatkan dengan impor dari luar negeri. Industri yang dikembangkan lebih disandarkan pada industri manufaktur, makanan dan minuman, pengepakan dan perakitan. Investasi asing yang ditanamkan juga lebih diprioritaskan untuk investasi portfolio di sektor keuangan dan perbankan, bukan investasi langsung (direct investment). Jika terjadi krisis keuangan, akan memudahkan terjadi proses perpindahan modal secara cepat (capital filight).
Kemudian Soeharto juga berupaya meningkatkan produktivitas pertanian dengan menjalankan program “Revolusi Hijau”. Program ini menyandarkan pada mekanisasi pertanian (penggunaan bahan-bahan kimia dan peralatan pertanian modern) dan pembangunan infrastruktur pertanian seperti bendungan. Program ini hanya mengakibatkan penindasan yang semakin luar biasa, karena prioritas utamanya adalah perluasan perkebunan-perkebunan besar dan penguasaan hutan untuk menyediakan tanaman komoditi bagi kapitalis monopoli asing disamping alih fungsi lahan untuk lapangan golf, jalan tol, pemukiman mewah dan sebagainya. Program mekanisasi pertanian, hanya mengakibatkan ketegantungan akut terhadap pupuk kimia, meningkatkan kerusakan tanah, melilit kaum tani dalam utang akibat harus menanggung biaya untuk pupuk dan alat-alat pertanian. Di samping itu, Soeharto tidak segan-segan menindas kaum tani dengan represifitas tatkala kaum tani mempertahankan lahannya dari arus pembangunan negara.
Kehidupan klas buruh tak kalah menderitanya. Angkatan kerja yang terserap dalam dunia kerja hanya 50-70 %, itupun dengan hubungan kerja yang menindas. Upah buruh sangat rendah didasarkan pada penentuan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), jam kerja yang tinggi dengan beban kerja yang berat, keselamatan dan kesehatan kerja tidak dilindungi, serta kebebasan berpendapat dan berserikat selalu ditindas.
Penindasan pasti selalu dilawan dan itu terbukti kemudian pada 21 Mei 1998, Soeharto tumbang oleh gerakan demokratis anti fasis yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Ketiadaan kepemimpinan politik yang maju dan tidaknya adanya persatuan dari klas buruh dan kaum tani, mengakibatkan gerakan Mei 1998 yang dikenal juga dengan reformasi jatuh di tangan kaum borjuasi komprador baru. Sejak rejim Habibie, Gus Dur, Megawati dan kini rejim SBY-JK, kesejahateraan rakyat dan kedaulatan nasional negeri ini masih tercabik-cabik. Mayoritas rakyat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan.
Upah buruh tetap saja minim, jam kerja tetap panjang, PHK terus saja terjadi, bahkan kini ditambah dengan pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourching. Kaum tani masih terus berhadapan dengan perampasan tanah, bagi hasil yang tidak adil, sewa tanah yang cukup tinggi, praktek tengkulak yang merajalela, upah buruh tani yang rendah, hingga menurunnya produktivitas pertanian. Kaum pemuda dan mahasiswa, harus menghadapi semakin mahalnya biaya pendidikan serta angka pengangguran yang terus meninggi. Kaum perempuan belum mendapatkan hak kesetaraannya dan terus dieksploitasi secara fisik untuk kepentingan bisnis. Ini semakin diperparah dengan kenaikan harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik bagi rakyat.
Apalagi dalam keadaan dunia yang saat ini dihantam krisis yang begitu akut, krisis umum imprerialisme telah membawa ekonomi dunia dalam kepanikan yang tidak kunjung usai. Defisit anggaran AS yang mencapai 1,09 Triliun U$D yang merupakan terbesar dalam sejarah AS, hal tersebut menggambarkan betapa biang imperialisme ini dalam kondisi yang bangkrut. Potensi penarikan modal ke luar negeri (capital flight) secara besar-besaran bisa terjadi. Bahkan dari pemantauan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) departemen keuangan, pertumbuhan ekonomi 2009 akan lebih buruk di banding perkiraan sebelumnya. April 2009, pertumbuhan masih di perkirakan minus 1,3% akan tetapi pada juli 2009 menjadi minus 1,4%.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Negara-negara imperialisme sesungguhnya tidaklah memberikan perbaikan yang fundamental, industri-industri di berbagai Negara tetap mengalami kemunduran, bangkrut dan hancur akibat krisis overproduksi yang di ciptakan oleh imperialisme sendiri. Hukum pasar bebas ala imperialisme telah menciptakan produksi yang tidak pernah memperhitungkan kebutuhan rakyat, anarkisme produksi memang karakter imperialisme untuk tetap menyambung hidupnya, tetapi anarkisme produksilah yang pada akhirnya membuat industri macet, defisit keuntungan, dan akhirnya gulung tikar atau bertekuk lutut di bawah perusahaan monopoli imperialis yang lain.
Industri otomotif saat ini di ambang kebangkrutan, Toyota menutup perusahaannya di California AS, Renault menutup sebagian besar dealernya, The Big Three (Ford, General Motor, Crysaler) mengemis-ngemis minta talangan dana dari pemerintah AS. Begitu juga dengan industri penerbangan yang menyisakan PHK besar-besaran di berbagai maskapai. Ratusan industri media cetak gulung tikar di AS, contoh terakhir dialami oleh The Ann Arbor News di Michigan AS yang bangkrut setelah beroperasi selama 174 tahun.
Berbagai kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan problem rakyat menjadi bukti yang paling kongkret. Hutang luar negeri Indonesia mencapai 1.456 Triliun selama SBY memerintah, sedangkan program stimulus fiskal sebesar 73,3 Triliun yang digembar-gemborkan mampu menolong rakyat Indonesia di tengah krisis, ternyata mengalami kebangkrutan. Realisasi penyerapan stimulus fiskal untuk proyek padat karya sampai akhir Juni 2009 hanya sebesar 5%. Bahkan tahun 2009 hanya 15% yang dialokasikan untuk proyek padat karya, sedangkan sisanya sebesar 85% atau Rp 61,1 Triliun dipakai untuk pemotongan pajak yang justru sangat menguntungkan kalangan menengah ke atas yang mendapatkan keringanan pajak.
Sehingga penting bagi kita semua untuk mengambil pelajaran dan inspirasi dari perjuangan rakyat saat revolusi agustus 1945, dimana semua sektor rakyat memahami bahwa saat krisis sedang menghantam imperialism maka penindasan terhadap rakyat di negeri jajahan akan semakin berlipat ganda, dan hal ini juga memberikan bahan bakar bagi rakyat dan organisasi-organisasi progresif untuk semakin memperbesar barisan.
Untuk itu, penting bagi klas/sektor/golongan untuk menghimpun dirinya dalam ormas-ormas yang benar-benar memperjuangkan kepentingan massanya atau ormas sejati dengan memprioritaskan pembangunan organisasinya di basis terendah yaitu di pabrik, pedesaan, kampung, kampus ataupun di tempat kerja. Selanjutnya mengobarkan perjuangan massa baik menuntut hak-hak demokratis ataupun soal-soal politik yang memang mengancam penghidupan dan kepentingan massa. Perjuangan ini terus ditingkatkan dari hal-hal kecil hingga yang besar, dari skala kecil hingga skala luas sebagai upaya untuk terus memberikan perlawanan terhadap rejim boneka imperialisme dan meningkatkan kemampuan daya juang dari seluruh rakyat Indonesia.
Agar perjuangan ini mencapai tujuannya yang mulia, harus dihindari penyakit reformisme dan avonturisme politik. Reformisme adalah tindakan yang mengkhianati perjuangan rakyat atau berandai-andai bahwa rakyat bisa hidup berdampingan erat dengan para musuh rakyat. Sementara avonturisme politik adalan tindakan yang memecah belah persatuan di kalangan rakyat, terutama tidak menghendaki adanya persatuan antara klas buruh dan kaum tani. Dalam geraknya sangat mengandalkan spontanitas massa dan politiknya bisa sangat ke kiri-kirian (memaksakan tuntutan politik yang tidak sesuai dengan tingkat kesadaran dan kesanggupan massa) ataupun kekanan-kananan (memilih bekerja sama dengan musuh atau kompromis untuk mencapai tujuan politiknya, karena tidak sanggup memimpin massa). Dua hal ini sangat berbahaya, karena akan menjerumuskan perjuangan massa dalam kebangkrutan.
Revolusi Agustus ’45 adalah perjuangan dengan perspektif demokratis nasional menuju hari depan lahirnya sistem sosial yang berkeadilan dengan bersandar pada pelaksanaan land reform sejati dan pembangunan industrialisasi nasional yang tangguh, di bawah kekuasaan pemerintahan rakyat yang anti imperialisme dan anti feodalisme. Sistem sosial baru inilah yang akan menghantarkan rakyat Indonesia sungguh-sungguh menggapai kemerdekaannya dan meraih kesejahteraan sosial yang adil dan merata.
Pemuda Mahasiswa Berjuang Bersama Rakyat Merebut kemerdekaan Sejati.
Kaum muda Indonesia harus diakui telah banyak memberi sumbangan yang sangat besar bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia selama revolusi Agustus 1945. Salah satu hal yang menjadi pokok pikiran atas sumbangan kaum muda Indonesia adalah bagaimana ikut berjuang bersama rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, bahkan kaum muda Indonesia tidak pernah gentar sekalipun harus berhadapan dengan borjuasi komprador yang telah menjual kedaulatan Indonesia ke tangan imperialisme asing.
Sehingga hari ini apa yang bisa diperbuat pemuda Indonesia tentu tidak akan jauh berbeda dengan keadaan saat itu, apalagi secara kongkret, kemerdekaan Indonesia hari ini belum menjadi milik rakyat. Penindasan dan penghisapan imperialisme dan feodalisme masih saja terjadi, kebobrokan rejim boneka dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia telah menjadikan rakyat Indonesia sebagai pesuruh di tanahnya sendiri. Berbagai penindasan terhadap klas buruh dan tani serupa dengan penindasan pada saat pemerintahan kolonial, PHK sepihak, upah rendah bagi buruh begitu mudah dilakukan di Indonesia, aneka regulasi dan peraturan pemerintah senantiasa lebih berpihak pada kapitalis monopoli. Sementara bagi kaum tani, perampasan tanah adalah hantu yang senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.
Sementara bagi pemuda mahasiswa, keterbatasan akses pendidikan akibat biaya pendidikan yang begitu tinggi membuat jutaan pemuda Indonesia menjadi penggangguran ataupun menjadi tenaga buruh murah dengan pendidikan yang sedemikian rendah. Di sisi lain, kurikulum dalam sistem pendidikan nasional sama sekali tidak mewakili kondisi objektif Indonesia, tidak heran jika lulusan pendidikan tinggi di Indonesia menjadi sedemikian rendah kualitasnya. Skill dan segala keahlian yang didapat dalam pendidikan tinggi hanyalah berorientasi sebagai tenaga operasional bagi industri murahan di perusahaan manufaktur milik asing yang beroperasi di Indonesia.
Kampus-kampus besar di Indonesia seperti UI, IPB, ITB dan UGM selama ini hanyalah digunakan sebagai corong budaya imperialisme lewat teori-teori sosialnya yang selalu dianggap benar oleh para akademisi congkak pengabdi ilmu imperialis. Sementara itu mahasiswa dari disiplin ilmu eksakta dibiarkan tenggelam dalam budaya pasifisme, ilmu logika dibiarkan terputus sama sekali dengan realitas sosial bahkan dengan kenyataan objektif. Skill dan segala keahliannya selama kuliah selalu menjadi sasaran untuk diabdikan kepada industri milik imperialis, penemuan-penemuan besar sarjana Indonesia selalu saja menjadi barang yang harus di jual kepada Imperialis, jika tidak maka jangan harap akan ada penemuan yang asli milik Indonesia, karena imperialisme akan menghalangi dengan berbagai cara, yang terpenting tidak ada industri dan teknologi maju yang berkembang di Indonesia. Sehingga kurikulumpun dibiarkan berada di level terendah tanpa kualitas dan berkembang sebagai sistem pendidikan yang tidak ilmiah, tidak memiliki kadar demokratis sehingga tidak ada output yang dapat diharapkan lahir dari sarjana-sarjana untuk kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada rakyat.
Sementara itu institusi kampusnya dengan bersandar pada keputusan konyol SBY-Kalla dengan UU BHP, telah membawa kampus beroperasional layaknya perusahaan besar ataupun Holding Company. Dua buah Mall besar dimiliki oleh IPB, selain itu IPB juga memiliki bisnis penginapan dan hotel, kebun penelitian, taman wisata agro bisnis, memiliki tanah hampir seluas 2000 Ha dengan kerjasama lebih dari 500 institusi dan perusahaan dari dalam dan luar negeri. Sementara kampusnya menggunakan manajemen seperti perusahaan dengan sebagian pegawainya adalah kontrak, bahkan outsourching, sebuah aturan yang dilaksanakan dengan patuh seperti amanat UU BHP yang sangat menyakitkan bagi sebuah institusi peningkatan budaya bernama lembaga pendidikan.
Sehingga akan menjadi sebuah hal yang tidak bisa ditawar ketika pemuda mahasiswa berjuang bersama rakyat, dengan menyandarkan diri pada kekuatan yang paling signifikan yaitu kekuatan buruh dan tani. Menjadikan kampus sebagai bagian dari benteng pertahanan rakyat yang mampu menyiarkan penderitaan rakyat dan sebuah tempat yang mampu menghasilkan sarjana dan barisan pemuda yang mengabdikan seluruh keahlian dan keterampilannya demi massa rakyat. Kemunculan organisasi-organisasi di dalam kampus dengan watak organisasi yang anti imperialisme dan anti feodalisme tentu menjadi hal yang sudah tidak bisa ditawar lagi, sebuah organisasi yang mampu mengangkat aspirasi perjuangan rakyat buruh, tani dan semua bagian tertindas rakyat Indonesia sebagai pembahasan yang ilmiah dan kemudian menjadi sebuah kesimpulan tentang pokok perjuangan pembebasan nasional.
Memaknai keadaan sekarang yang memang pada hakekatnya tidaklah berbeda jauh dengan saat Indonesia berada dalam cengkeraman kolonialisme, sehingga perayaan kemerdekaan Indonesia kita artikan sebagai sebuah Peringatan tentang proklamasi 1945 dimana perjuangan untuk meraih kemerdekaan sejati harus terus di gelorakan, dan pemuda mahasiswa menyadari sepenuhnya peran dan kedudukannya dalam perjuangan bersama rakyat di masa sekarang.
Maka, Majulah Kaum Muda Indonesia! Kobarkan Perjuangan Massa di Kampus, Bangun Ormas Mahasiswa Sejati, Jadikan Kampus Sebagai Benteng Pertahanan Rakyat dan Berjuang Bersama Rakyat Indonesia Melawan Rejim Boneka Imperialisme dan rezim Anti Rakyat SBY-Kalla.